Nilai Yang Tak Dirindukan

Belum berhenti aku berpikir tentang hari kemarin. Betapa lelahnya menunggu seharian sampai tak ingat lagi perut lapar lantaran keram akibat gugup. Al-Fatihah jadi bulan-bulananku seharian kemarin berharap hati sang dosen 'melunak'. Tentu saja bukan karena al-Fatihahnya, tapi sebagai wasilahnya agar Allah tetap membersamaiku, menenangkanku.

"Siapa lagi?" tanya dosenku yang terlihat kelelahan itu.


“Saya, Pak,” jawabku.


“Taufik mana?” Sang Dosen bingung karena nama yang tertera dalam kertas peserta ujian bukanlah aku, melainkan kawanku. Iya, aku peserta terakhir yang belum terlampir dalam print out nama peserta ujian komprehenship tahun ini.



“Dia besok katanya, Pak. Belum siap hari ini.”


“Ya sudah, masuk. Tunggu sebentar ya,” Beliau masuk ke ruangan sebelah ruang ujian. Entah untuk apa. Lalu, aku duduk senyaman mungkin. Untuk mengusir kegugupanku, aku melihat-lihat buku yang bertumpuk di atas mejanya, membuka buku paling atas tentang zakat. Buku yang begitu akrab di mataku ketika menyusun makalah-makalah tugas kuliah dulu. Dan aku terkaget begitu beliau masuk ke ruang ujian yang tak lain adalah ruang kerja beliau sendiri. Segera saja aku mengembalikan buku dalam genggamanku ke atas meja.


“Oke, siapa namamu?”
 

“Nurhidayanti, Pak,” jawabku mantap. Mungkin saking banyaknya mahasiswa yang pernah dihadapinya, sampai tak lagi ingat nama satu persatu mahasiswanya.
 

“Kok namamu tak ada di sini?”
 

“Hehe... Iya, Pak. Mungkin Bapak bukan memegang yang terbaru. Yang terbaru, sudah ada nama saya, Pak,” jelasku mencoba lebih tenang.

“Oh, gitu?” dengan nada khasnya yang kusuka. Sang Dosen manggut-manggut sambil menulis ulang namaku di lembaran daftar peserta. Tanpa salah, tanpa spasi antara Nur dan Hidayanti-nya seperti kesalahan beberapa kawanku dan aku biasa mengomeli mereka. 
 

“Oke, bagaimana? Sudah siap? Cukup lima sampai sepuluh menit lah kalau tak ada bantuan. Tapi, jika saya harus mengingatkan apa yang terlupa, itu yang akan membuat lama seperti yang lain,” jelasnya sambil tersenyum. Sama sekali tak menunjukkan betapa lelahnya menghadapi mahasiswa sedari pagi dan menanyakan hal sama berulang-ulang, seperti yang kulihat saat menanyakan siapa selanjutnya yang akan beliau uji.
 

“InsyaAllah, Pak,” balasku sambil senyum-senyum mulai tak karuan.
 

Saat itu, tubuhku tiba-tiba menghangat. Terasa kalau aku takkan apa-apa. Mungkin energi positif yang beliau tularkan, aku menjadi lebih rileks. Dan aku pun mulai membahas paperku sendiri, berusaha keras mengingat apapun yang tertulis dalam lembaran-lembaran folio kumal itu, yang tulisannya sudah tak lagi karuan. Berharap Sang Dosen tak protes betapa acakadutnya tulisanku lantaran terlalu lama tak memegang pulpen dan pensil.
 

Beberapa saat cukup lancar dan sesekali beliau menyela untuk bertanya contoh dan aplikasi dari teori yang kupaparkan. Entah mengapa tak ada ketegangan yang kutakutkan, ketegangan yang sempat kurasakan saat ujian dengan dosen yang sebelumnya. Jika aku tak tahu, aku tak paham, dengan santainya aku mengatakan, “Maaf, Pak. Aku tak tahu” atau “belum tahu” sambil geleng-geleng pelan dan tentu saja senyum rasa bersalah.
 

Lagi-lagi beliau manggut-manggut sambil tersenyum dan meng-oke-kan saja kekuranganku itu.
Tibalah di subbab materi terakhir yang juga entah kekuatan dari mana aku berani melontarkan kalimat “Nah, Pak. Jujur saja, untuk –aku menyebutkan 4 hal— ini aku benar-benar sulit memahaminya dari awal. Tak ayal Sang Dosen tertawa kecil. Aku pun ikut tertawa yang sebenarnya perasaan bersalah dan takut ini berakhir dengan sesuatu yang sangat tak kuinginkan.
 

“Gitu? Ya sudah. Mau bagaimana lagi, ini yang terakhir. Tak ada lagi yang bisa dibahas. Hufftt!!! Kok endingnya gak enak begini ya? Bukankah baiknya segala sesuatunya mesti husnul khotimah? Ya gak?” tubuhku mulai keringat dingin. Aku menggigit bibir khawatir.
 

“Iya, Pak. Aku minta maaf,” tukasku pelan sambil senyum tertahan, menahan gejolak dan kekhawatiran. Beliau mengambil lembar penilaian dan mulai menuliskan angka di depan mataku. Beliau seperti hendak menguji kesiapanku melihat angka berapakah yang akan tertera jelas di sana.
 

Mataku menangkap bentuk lingkaran ‘O’ yang berulang kali ditebalkan dengan perlahan.
 

“Pak, masa begitu? Aku kan tadi menjawab banyak,” protesku pelan sambil takut-takut. Aku mengingat beberapa kawan yang sebelumnya telah menghadap beliau bercerita “ah, itu ‘mainan’ bapaknya aja kok”. Dan aku mulai berharap-harap cemas aku bernasib sama dengan kawan itu.
 

“Lho, jadi kamu maunya berapa?” tanyanya sambil menyengir kecil.
“Ya yang sesuai dengan kemampuanku lah, Pak. Masa segitu,” mungkin wajahku saat itu memelas menyedihkan. :D
 

“Ya, jadi seperti apa? Saya harus menambahkan angka di mana? Di depan atau di belakang?”
Aku berpikir sejenak, mengingat cerita kawan lagi yang mengatakan untuk menambahkan bentuk lingkaran di bawah lingkaran yang sebelumnya dan di belakangnya agar membentuk angka delapan puluh. Dan aku berpikir untuk mengikuti caranya.
 

Lagi-lagi beliau tertawa. “Di mana? Di sini atau di sini?” beliau menunjukkan di depan atau di belakang lingkaran.
 

“Bapaak... Di belakangnya saja, Pak, gak usah di depannya.” Aku pasrah. Terserah berapapun itu, asal bukan menjadi nol koma. Karena aku yakin beliau tak sekejam itu dan aku yakin jawaban dan penjelasanku tadi masih cukup baik. Terbukti dari kawan sebelumnya.
 

Aku menunduk sambil menggenggam erat jemari yang mulai basah. Begitu mataku menatap ke atas meja, tiba-tiba saja mataku sudah melihat ‘angka cantik’ yang masih ditebal-tebalkan oleh beliau sambil senyum-senyum lebar.
 

“Pak, itu ketinggian, Pak. Di bawahnya saja. Jangan segitu, aku takut tak bisa menjawab jika ditanya lagi (baca: mempertanggungjawabkannya),” protesku lagi.
“Hehehe... Lho, gak pa-pa. Itu artinya kamu harus belajar lagi sampai paham apa itu *tiiiiit, *tiiiiiiit, *tiiiiiit, dan *tiiiiiit,” jawab beliau bijak sambil tersenyum. Beliau ini ramah sekali. Aku semakin bersalah karena sudah menganggap beliau ini ‘menakutkan’.
 

“Tapi, Pak.”
 

“Begini, bukan apa. Sebenarnya nanti ada perubahan penilaian. Jika saya memberikan nilai –sekian—, kamu hanya dapat *tit. Tapi, dengan nilai yang ini—sambil menunjuk nilai yang dituliskan tadi—kamu hanya bisa dapat yang ini saja—sambil menunjukkan alfabet kelompok nilai,” jelas beliau panjang lebar. Padahal jika dipikir-pikir beliau tak perlu repot aku berada di posisi manapun.
 

Dan inilah bagian yang kemudian aku sesali, ketika aku berkata “Iya kah, Pak? Ya sudah, Pak. Tak apa, cukup kalau begitu,” kataku semangat.
 

“Atau saya tetap harus menggantinya?” canda beliau.
 

“Gak usah, Pak. Cukup kok, cukup tak usah diganti,” sergahku cepat. Dan beliau tertawa lagi.
 

“Makanya, jangan minta diturunkan.”
 

“Iya, Pak. Hehehe...” nyengirku.
 

Aku pun keluar dengan wajah berbeda. Rasa lelahku menunggu seharian terbayarkan sudah. Setitik air mataku keluar di ujung mata ketika dadaku sesak menahan rasa senang. Aku duduk di taman kampus sambil berdoa dan berterima kasih pada-Nya. Sungguh, aku hampir tak bisa berkata lagi karena aku yakin Allah paham apa yang ingin kukatakan saat itu.
Namun, di sepanjang perjalanan pulang, aku berpikir apa yang kukatakan pada dosenku itu. “....Tak apa, cukup kalau begitu” dan “Gak usah, Pak. Cukup kok, cukup tak usah diganti”. Kalimat ini terngiang-ngiang kembali. Aku merasa ada yang salah dengan kalimat itu. Seharusnya aku mengatakan “Iya, Pak. Tak apa jika harus nilai *tiit yang kudapat. Itu artinya, hanya segitu kemampuanku.” Semestinya demikian yang harus kukatakan bukannya mengiyakan.
 

Bukan maksud sok bijak, tapi dari hati kecilku mengatakan demikian. Aku terlena dengan nafsuku sendiri. Apa pentingnya sekarang ini nilai tinggi, namun nyatanya aku tak sehebat penafsiran angka itu di mata manusia? Aku benar-benar menyesal saat ini, malu rasanya aku mendapati diriku tak sehebat dalam sangkaan dan hati kecilku sendiri. Dan kesalahanku selanjutnya karena aku tak cukup berani menemui beliau lagi untuk menyatakan penurunan nilai.
 

Sempat ingin membela, iya aku kan manusia juga. Tempat salah dan khilaf. Tapi, untuk apa? Pembelaan yang akan semakin membuatku rendah sekali. Karena aku ini manusia lah mestinya tak melakukannya—lagi. Cukuplah aku bersyukur, berterima kasih karena Allah telah melembutkan hati beliau untuk mendengarkanku dengan saksama dan menerima penjelasanku yang bisa jadi masih banyak kelirunya. Tak perlu lagi aku pikirkan tinggi atau pas-pasan nilai yang tertera, toh menerimanya dengan ikhlas itu bisa menjadi berkah hingga di kemudian hari.
 

Sebagian orang menyatakan perlunya nilai tinggi untuk bisa diterima bekerja di tempat yang dipandang baik oleh banyak orang. Tapi, aku setengah sepakat. Karena andai saja Allah menunjukkan betapa nilai yang di-wow-kan oleh kebanyakan manusia itu hanya akan berakhir di lembaran kertas tanpa bukti nyata, bukankah itu sudah cukup membuktikan aku akan berakhir pula dengan hinaan dan dianggap tak bisa apa-apa?
 

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---Allah, syukurku tak terhingga karena Engkau mengizinkanku mencapai titik ini yang setahun lalu sangat sulit kucapai. Kekurangan yang Engkau hadiahkan padaku ini, jangan sampai aku hanya tahu caranya mengeluh. Bimbing aku selalu untuk mengenal di sisi kenyataan manakah Engkau letakkan hikmah kehidupan agar aku tak lagi ragu untuk mengatakan pada diriku sendiri: Ni’mat-Mu yang mana lagi kah yang bisa aku dustakan, yang tak bisa lagi kusyukuri? :’)
 

GB-6 Agustus 2015

Komentar

Exister