Oleh-oleh Perjalanan: Menjadi Ratu

Menurutku, ini adalah oleh-oleh terbaik perjalananku---silaturrahmi ke Riau dan daerah sekitarnya---dari tahun lalu yang diingatkan Facebook hari ini. Aku bahkan sempat lupa ada catatan ini. Hehehe

Cerita yang---seolah---kutujukan pada seorang kawan karena sempat bertanya cerita apa yang kubawa untuknya ini, sebenarnya adalah satu dari sekian banyak alarm hidup yang bisa kuarsipkan. Menyadari "penyakit lupa"ku rentan sekali kumat. :-D

Agar masih bisa dibaca lagi tanpa harus nunggu tahun depan diingatkan lagi, baiknya aku simpan di sini. :-)

▼▼▼

Ah iya, aku ingat sudah @Icha Crew, cerita yang ingin kukisahkan padamu tadi waktu di bandara ketika kau bertanya aku punya cerita menarik apa dari perjalananku kemarin.

Ini bisa jadi biasa saja menurutmu, tapi tidak bagiku. Aku sekali lagi belajar hal baik.

3 tempat berbeda dan 3 orang berbeda pula, namun 1 kesimpulan.

Dari berbagai sumber, entah bacaan, pengalaman, melihat, atau mendengar, aku belajar bahwa terhadap pedagang, betapapun ada yang mengatakan 'pembeli adalah raja', kita tak boleh semena-mena.

Dulu, aku sempat membuat seorang pedagang marah karena merasa dagangannya telah kuhina. Sungguh, dia salah paham. Aku hanya tertawa membayangkan adikku yang kurus tinggi itu memakai sesuatu yang ia jual.
Tak sedikitpun sampai hati aku menghina. Aku menghormati mereka, bahkan tak rela jika sampai aku tidak merapikan kembali andai telah kubongkar. Mengotori toko dengan sampah bungkus permen pun aku tak tega. Mikir-mikir.
Akhirnya, aku berulang kali meminta maaf dan menjelaskan, namun dia tetap merasa tersinggung.

Dari situlah aku belajar, dengan perlakuan yang tak sengaja bisa dengan mudah mencoreng keridhoan, lantas bagaimana dengan sengaja?
Allahu Rabbii.. Kita memang manusia lemah. Aku semakin berhati-hati. Bahkan dalam tawar-menawar aku juga belajar cukup 3 kali, seperti cerita Bang Ochan tentang ibunya yang menjaga ke-wara'-an. Jika sudah 3 kali, pedagangnya kekeuh, maka diambil andai memang butuh, jika tidak, tinggalkan. Itu akan menjaga kita dari sesuatu yang syubhat karena ridho pedagang tak sepenuhnya kita bawa pulang.

Tapi, kali ini bukan tentang perlakuanku. Melainkan mereka yang 'baiknya' melayani dengan ikhlas.
Dengan penuh hati-hati aku bertanya pada perempuan berambut panjang itu karena kumelihat dia sedang merapikan sesuatu.
"Mbak, maaf. Bisa lihat yang itu?" Pintaku sambil menunjuk.

Dia bergeming. Jutek abis.
"Mbak... Bis..." belum selesai kuulang karena kupikir suaraku tak terdengar. Dia melihatku sambil menggumam sesuatu dan menggerling ketus seperti tak rela kuganggu. Aku beristigfar. Apa aku salah ya minta tolong?
Dia dengan sedikit malas dan tanpa senyum, akhirnya menolong. Aku jadi berpikir, semoga cuma padaku.

Perempuan ke-2.
"Mbak, ini harganya memang yang tertera di sini, kan?" tanyaku pada kasir sambil melihatkan angka pada price tag. Khawatir harga lama, akhirnya tak sesuai isi dompet. Dia mengabaikanku, juga. Sibuk menscan barang yang akan kubayar. Aku pikir dia sengaja. Tapi, selang beberapa detik, dia menggerakkan jemarinya. Aku bengong. Jangan-jangan dia tak dengar yang kutanyakan. Aku akhirnya diam.

Kemudian, kakakku datang dan bertanya juga. Tapi, aku lupa dia nanya apa. Yang kuingat respon kasir perempuan berwajah Chinese itu. Dia menggerakkan tangannya menuju telinga dan menggangguk iya secara hampir bersamaan sebagai jawaban pertanyaan kakakku.

Aku akhirnya menyadari, dia tuli dan bisu. Di telinganya juga ternyata bertengger alat bantu dengar yang nyaris luput dari mataku.

Aku tersenyum. Entah, apa yang kurasa. Aku menatap wajah perempuan itu lamat-lamat, dia sibuk dengan barang di depan matanya. Mungkin aku kagum. Mungkin juga senang karena akhirnya melihat langsung seorang manusia yang memiliki keterbatasan, namun dia tetap optimis menjalani hidup. Bukan senang melihat kekurangannya, tapi senang aku bisa belajar sesuatu darinya. Aku berterima kasih sebelum keluar toko. Dia hanya mengangguk.

Orang ke-3. Pria yang kuperkirakan berusia 40-an.

Baru saja tiba, dia menyapa. Bertanya aku mencari apa. Aku hanya senyum sambil melihat-lihat. Aku terbiasa demikian karena aku senang memilih sendiri ketimbang 'dirusuhin'.

Dia bertanya kembali. Aku pun senyum lagi, tidak. Aku nyengir mencoba ramah sambil bergumam pelan "mau lihat-lihat dulu, Pak", berharap bapak itu memahami karena aku juga sedang memegang salah satu dagangannya. Setelah kuperhatikan, sebaiknnya aku memilih yang lain. Akhirnya, aku berniat merapikannya dan mengembalikan ke tempatnya semula.

Tak kusangka, dia mengambil sedikit paksa barang dari tanganku dan nada bicaranya pun menaik satu tingkat nada. "Kalau ditanya cari apa jangan diam aja. Dijawab dong!" Hatiku tersentak. Mataku refleks melotot. Kami terdiam.

Lalu, kakakku pun menyahut, "Lihat-lihat dulu, Pak."
Hatiku melorot. Baru kali ini diperlakukan demikian. Biasanya pada pedagang lain sebelum-sebelumnya, mereka baik-baik saja. Bahkan ada yang begitu ramah jikalaupun tak jadi terbeli.

Aku kesal. Pengen balik badan  langsung angkat kaki. Tapi, otakku bekerja cepat membuatku tak berlaku demikian. Aku masih sadar untuk menyisakan senyum tipis untuknya. Berharap bapak itu mengerti, keramahan itu salah satu sebab orang lain kembali ke tokonya.

Kejadian demi kejadian pun terlewati. Sekalipun kita telah berlaku sesantun mungkin, ternyata masih saja bisa terjadi "kesalahan".

Itulah sebabnya dalam berbelanja, jangan sok-sok-an jadi raja dan ratu. Terkadang, meski raja dan ratu mencoba sebaik dan seadil mungkin, ada saja pelayannya yang ngeyel, minta haknya dipenuhi terlebih dulu, kewajiban ala kadarnya.
Setidaknya, raja dan ratu yang baik dan bijak tahu menempatkan diri, tidak serta merta merasa tinggi dan berkuasa hanya karena dia bisa menentukan banyak hal.

Repost from #2016 #Agustus

Bontang, 23 Agustus 2017

Komentar

Exister