Jujur Deh...

"Aku. Aku mau nanya ama Kak Run," burunya. Seketika aku deg-degan. 

Malam itu--29 Agustus 2015, katanya boleh bertanya apapun tentang semua yang hadir dan jawabannya harus jujur. Karena ada syarat 'tanpa syarat apapun', membuatku cukup was-was. Pertanyaan macam apa yang mesti kujawab. 

Lalu, seseorang nyeletuk, "jangan-jangan pribadi lagi nih!" Kami cengar-cengir. Tapi, tanganku dingin seketika. Dia memulai pertanyaan dengan muqaddimah yang cukup panjang. Lalu, "Aku gak percaya kalau Kakak gak punya cita-cita. Aku ngelihat Kakak tuh punya potensi, masa' gak ada cita-cita..." serbunya padaku. Hening. Aku terdiam sejenak sambil tersenyum bingung. 

Dalam sepersekian detik, aku mengorek-ngorek dinding otak berharap menemukan satu cita yang pernah kuinginkan. Aku abaikan tentang dokter dan perawat. Cari yang lain. 



Sebenarnya, aku tak lagi ingat kapan terakhir seseorang bertanya tentang cita-citaku. Bahkan diriku sendiri pun rentan alpa, hendak ke pintu masa depan yang mana diriku melangkah. Lalu, ada yang terlintas di benak, 

"Ehmm, aku menyukai segala jenis seni. Seni menulis, gambar, seni rupa, musik, dan sebagainya (aku lupa menyebutkan tentang menari dan perfilman). Jadi, sebenarnya ada satu hal yang kuinginkan, tapi belum tercapai: sekolah seni. Aku menginginkannya, tapi sayang aku tak punya wadahnya. Hehe... Akhirnya, nyangkutnya di sini deh." 

Mengakui itu semua sambil terbata-bata, ada yang bergetar dalam dadaku. "Kak, kalau ingin menangis, gak papa. Nangis aja. Keluarin aja," desaknya. Dan yang lain mendukung. Mungkin karena suaraku mulai berat dan bergetar. Tapi, aku menolak. Walaupun pelupuk mataku sudah panas. Karena ini bukan acara sedih-sedihan. Tak perlu berair mata. 

"Aaaa.. Gak kok," sanggahku cepat sembari menutup wajah. Lalu, saat melirik ke sebelah kiri, aku melihat seorang kawanku lagi seolah tengah mendengarkanku sedari tadi dengan cukup saksama. 

"Tenang aja, Kak. Entar, aku buka Icha Art. Kakak sekolah di sana aja." Semua tertawa dan memberi komentar macam-macam. 

Ah, sebelum malam itu, dia juga pernah mengatakan, "nanti Icha yang biayain sekolah Kakak. Atau entar aku yang buat sekolahnya, nah Kakak sekolah di sana deh". Tentu saja itu bercanda. Sekadar lucu-lucuan, tapi membayangkannya bisa menyentuh perasaan. 

Bagiku, itu adalah satu momen penting dalam setahun ini. Sederhana saja, hanya ditemani wafer tango dan air putih, tapi sangat berkesan. Tentu saja, dari awal aku berharap agar tak kena giliran karena syaratnya berat: jujur. Tapi, saat itulah aku menyadari satu hal bahwa aku hampir tak pernah memperhatikan diriku sendiri dan Allah memberiku peringatan melalui perhatian kawan baikku itu. Dia saja mau repot-repot mikirin aku, lha aku sendiri? Memalukan, bukan? 

Sungguh, aku terharu. Betapa jauhnya perjalanan hidup, untuk satu episode ini Allah memberiku hadiah kawan seperjalanan terbaik. 

Kawan, melupakan cita-cita adalah satu dari kealpaanku. Sebuah bukti betapa rasa syukur tak cukup hanya dengan mengatakan "aku bersyukur, kok". Karena saat kita menyadari kemampuan kita untuk berjalan, tapi tak ada tujuan, itu berarti kita hanya akan jalan di tempat. Tak ke mana-mana. Sungguh, takkan ke mana-mana. 

GB-31 Agustus 2015 
Jelang September.

Komentar

Exister