Bercerita

Di perjalanan membawaku ke terminal bis, dia bercerita padaku bahwa ia akan mengikuti lomba fotografer di kampusnya.

"Tadi udah daftar, 60 ribu."

Jujur saja, aku senang. Itu jelas positif banget. Aku bahkan tak pernah berani. Meskipun mesti urunan dengan teman-temannya sekitar 20 ribuan, aku tetap senang. Dia selangkah lebih baik dariku. Kekhawatiran terbesarku saat ia menginjakkan kakinya di kampus adalah dia salah pergaulan.

Sempat dengan hati-hati aku bertanya padanya, "Kamu merokok juga kah, Dek?"

"Gak, buat apa?" jawabnya santai.

"Ah, iya. Buat apa!"

Aku senyum lega. Bukan tanpa alasan aku menanyakannya. Saat dia membawa teman cowoknya ke rumah, aku melihat temannya itu sedang nangkring di luar untuk mengisap tembakau bakar itu. Aku tak masalah jika dia tak sejalan dengan pikiranku. Sebagaimana aku belajar memfilter diri, aku ingin dia juga mempelajarinya. Hanya saja, karena aku tak mengenal kampusnya dan karena bercermin dari kampusku yang sering membuatku bergidik sendiri, aku benar-benar cemas. Belum lagi, di tahun-tahun awal perkuliahannya, aku cukup sulit memantaunya. Walaupun sekarang tak jauh lebih gampang.

 "Apa hadiahnya?"

"Uang."

"Iya kah? Berarti nanti dibagi?"

"Ya kalau dapat."

 Aku tertawa. Tak masalah bagiku, dia menang atau tidak. Saat aku tahu dia melakukan hal positif, aku pasti selalu mendukungnya. Belum lagi jika dia yang secara langsung mengabarkannya padaku. Itu nilai plus bagiku.

 Aku mengingat-ingat, sejak kapan dia mulai bercerita banyak hal padaku. Ah, itu tak penting. 2 hari sebelumnya, ketika dia mengunjungiku ke kost, tidak seperti biasanya membuatku berdiri cukup lama untuk mendengarkannya. Satu hal baik yang dia utarakan padaku bahwa ia akan mengikuti program membantu para petani panen atau sekadar 'bincang-bincang' dengan mereka tentang problematika pertanian di desa sekitar Samarinda. Sesuai dengan jurusan yang dia ambil.

 "Sama siapa, Dek?"

"Teman-teman." Hingga jelang magrib,

 "Mulai gelap. Pulang sudah, Dek."

Dia melihat sekitar memastikan, namun ia belum niat beranjak. Lalu, dia bercerita tentang hal lainnya lagi. Sudah 2 kali aku 'mengusirnya'. Dia tetap bergeming. Aku tersenyum. Dia kenapa? Gak biasanya, batinku. Barulah ketika Icha memanggilku dari atas untuk membelikannya pentol bakso, dia pamit.

"Ya udah, aku pulang ya..."

 "Eh, iya. Hati-hati y, Dek. Bismillah." kataku sambil mengusap lengannya.

Dulu, ada yang mengatakan bahwa 'sentuhan' bisa membantu orang lain memahami ketulusan hatimu. Karena itulah, setiap dia bersamaku aku sering mengelus atau mengusap lengan atau punggungnya agar ia tahu aku tulus menyayanginya. :)

Memilikinya sebagai saudara laki-laki, terutama adik yang mau menjadikanku teman ngobrol yang baik, sudah dari dulu menjadi keinginanku bahkan sejak aku masing sering mengomelinya karena kamar yang selalu tak rapi, handuk dan baju sekolahnya yang ada di mana-mana. [Tentu saja, aku juga sering melakukan hal yang sama, hanya karena aku lahir setahun lebih dulu darinya, aku bisa memarahinya. :-D] Setidaknya, aku bisa mengenalnya jauh lebih baik dan lebih dulu sebelum kelak ia memiliki pendamping. Begitupula sebaliknya. Dan karenanya, aku bisa berbangga pernah 'memilikinya' dan bisa bercerita banyak hal tentangnya saat perempuan itu resmi 'memiliki' cerita masa depannya. :')

Samarinda,
GB-13 Oktober 2015

Komentar

Exister