Awas Kalo’ Gak Bisa!!!
Kemarin; Hari Senin datang lagi.
“Gimana teman-teman, ‘PR’nya udah siap kan?”
“Sudaaaah...,” jawab mereka semangat.
Kami memulai hari seperti biasanya. Merapal doa-doa dan
menghafal beberapa surah pendek serta hadis.
“Oke, teman-teman. Ada yang ingat gak kemarin dikasih
PRnya ngapain?”
“Berceritaaa... tentang Bulan Ramadhaaaan.”
Yang hari Jum’at kemarin hadir masih ingat, sedangkan
yang tidak hanya ikut bersuara kencang. Padahal tak “membuat” PR. Itulah
anak-anak. Hehehe...
“Iyap. Betul! Kakak-kakak semua sudah pintar,”
sanjungku. “Berarti sudah siap tampil kan?”
Ada yang menjawab “sudah”, ada juga yang hanya
senyum-senyum ragu. Bisa apa nggak yah, begitu mungkin pikirnya.
“Kalau gitu, siapa yang mau maju duluan, Anak Sholeh?”
Semuanya unjuk tangan, tak terkecuali yang tak membuat
PR.
“Oke, kita main cepat-cepatan angkat tangan yah. Siapa
yang paling cepat angkat tangan, dia yang maju duluan. Satuu... Duaaa... Tiga!”
Ternyata tidak seperti sebelumnya, kali ini tidak semua
angkat tangan. Mereka mungkin sudah ada yang mulai ragu dengan kemampuan dirinya
untuk bercerita di depan.
“Aha!! Kakak Febri duluan. Kalau gitu, silakan maju,
Kakak. Dan mulai bercerita yah.”
Febri mengambil posisi di depan dengan langkah
malu-malu. Dia nampak kebingungan setelah mantap berdiri di depan
teman-temannya.
“Ayo, Kak. Silakan bercerita.”
Dia masih terdiam sejenak. Mungkin cerita tentang Bulan
Ramadhan yang tadi penuh di kepalanya lenyap habis begitu posisi berdirinya
sempurna.
“Kakak Febri, ayo mulai, Sayang. Jangan takut. Di sini
kan cuma ada teman-temannya Kakak Febri saja. Jadi, gak perlu malu. Ayo!” Aku
memberinya motivasi dengan intonasi dan gerak bahasa tubuh menunggu penuh
semangat.
Dia menarik nafas dan menghembuskannya dengan agak
berat seolah saja sedang berdiri di hadapan ribuan orang.
“Bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan itu... bulan suci.” Dia
akhirnya bersuara. Aku semakin bersemangat.
Jeda. Cukup lama.
“Bulan Ramadhan itu... bulan suci,” ulangnya. Dia
menatapku. Nampak kebingungan.
“Iya, Kakak. Betul, terus?”
Dia masih menatapku sambil memainkan jemarinya.
Hidungnya mulai basah oleh bintik-bintik kecil keringat. Tak ada tanda-tanda
dia akan melanjutkan ceritanya.
“Krik krik krik...” hening. Aku membuat suara jangkrik
berbunyi. Mereka ada yang tersenyum ada juga yang terkekeh.
“Itu saja, Sayang? Masih ada lagi gak? Coba Kakak
ingat-ingat lagi deh, kemarin mama sama bapak cerita apa saja sama Kakak
Febri.” Aku memecah keheningan, memotivasi lagi dirinya. Dia memutar bola
matanya dan menghembuskan nafas berat lagi.
“Kakak Febri? Sudah? Itu saja yang Kakak mau
ceritakan?” Aku mencoba memastikan apa dia masih mau bercerita atau menyudahi
saja kebingungannya. Aku menjaga intonasi suaraku agar tak melukai harga
dirinya. Aku tahu, dia tipe anak yang tak ingin diremehkan dan dikalahkan.
Dia menatapku lagi seolah ingin aku bertanya ulang
untuk menyudahi rasa pegelnya.
“Bagaimana, Kak? Sudah? Itu saja?”
“Iya, sudah.” Akhirnya dia mantap menjawab sudah.
“Oke. Gak pa-pa. Ayo teman-teman, beri tepuk tangan
untuk Kakak Febriiii...”
Mereka bertepuk tangan. Ramai.
“Selanjutnya. Satu... Dua... Tiga!” Mereka angkat
tangan. Giliran Kakak Derby. Dia juga memulai aksi berceritanya dengan gugup.
Kalimatnya terbata-bata. Tapi, setidaknya dia memberi dua kalimat; “Bulan
Ramadhan adalah bulan suci” dan “Menahan haus dan lapar”. Namun, tak ada
kata-kata “Puasa”. Dia lebih cepat menyudahi ceritanya. Begitu dia merasa
bingung, dia langsung mengatakan “Sudah”. Lucu sekali ekspresinya.
Kami tertawa dan bertepuk tangan lagi. Hingga sampai
pada giliran terakhir, Kakak Salma.
“Oke, terakhir. Sisa Kakak Salma. Silakan, Kak.”
Dia tak langsung maju. Nampaknya dia ragu. Wajahnya
pias, pucat. Aku tak menyadarinya, padahal di duduk persis di sampingku. Ternyata
tak lama dia menangis dan mencoba mengusap air matanya sendiri. Mungkin sedari
tadi dia sudah begitu gugup dan menahan gempuran air mata yang tak boleh jatuh
dari kelopak matanya. Hanya saja, begitu sampai pada gilirannya, dia tak lagi
bisa menahan.
Tiba-tiba...
“Ayo maju, Salma. Awas kalau gak bisa!!!”
Ada kalimat ancaman yang datang tiba-tiba. Kami
terdiam. Teman-teman Salma menoleh kaget ke arah belakang. Aku tahu dari mana
suara berasal. Dia ibunya Salma. Ini bukan pertama kalinya aku mendengar
kalimat-kalimat ancaman dari mulutnya untuk Salma. Mendengar ancaman ibunya,
Salma maju dengan gontai. Aku melihat secarik kertas yang digenggamnya sejak ia
masuk kelas. Ah, ternyata itu materi ceritanya. Ya Allaaah... aku langsung
merasa kasihan padanya.
“Ayo, Kakak Salma. Semangaaaattt!!!” aku berteriak
seperti supporter bola. Pagi itu kelas kami menjadi lebih ramai. “Ayo,
teman-teman beri tepuk tangan untuk Kakak Salma biar semangat!” Aku mengompori.
“Ayo Salmaa... Ayo. Gak pa-pa,” teman-temannya
menyemangati.
Dia masih bergeming.
“Ayo, Kak. Jangan takut. Silakan cerita. Gak pa-pa. Gak
ada yang akan marah kok. Ayo, Kak.”
Aku memberinya senyuman tulus dan anggukan untuk
menguatkan percaya dirinya. Sangat jelas ia tak bisa menyembunyikan gugupnya, mungkin
takut salah bicara dan takut lupa. Dia juga mungkin tengah memikirkan hukuman
apa yang akan diterimanya nanti jika gagal bercerita padahal sudah berlatih di
rumah dengan ibunya. Sungguh, aku sama sekali tak memikirkan ini akan terjadi.
Aku hanya ingin anak-anak itu bisa percaya diri dan menikmati waktu mereka untuk
berbicara di depan orang banyak tanpa ada yang menjeda, agar tak menjadi
sepertiku.
·
Biasanya aku
memberi waktu mereka bercerita saat duduk melingkar atau circle time
secara bergantian, bukan dengan berdiri dan di depan semuanya. Jika mereka
berebutan, aku akan mempersilakan salah satunya berbicara duluan dan meminta
yang lain untuk bersabar dan menahan diri dari memotong pembicaraan temannya
dengan isyarat telapak tangan yang menyatakan “stop”. Itu cukup sulit
sebenarnya, tapi setidaknya mereka sudah sedikit mampu mengerti bahwa mereka
selalu punya jeda waktu untuk menyampaikan isi kepala juga hatinya, sekalipun
itu sangat tak penting belaka, nyambung atau tidak nyambung dengan apa yang barusan
kuceritakan atau jelaskan. Sesekali mereka juga tak sabar dan akhirnya memotong
cerita temannya, lalu temannya tersebut menjadi geram “aaarrrgghh” dan mogok
cerita bahkan mogok melakukan rencana harian. Ah, itu akan membuat hari kami
jadi lebih berat. J
Kembali ke Salma.
Dia nampak putus asa. Tapi, mulai membuka kertas yang
digenggamnya. Aku juga tak sampai berpikir bahwa pesanku dalam PR untuk orang
tua mereka ternyata masih menyiratkan salah paham. Aku sudah sangat yakin dalam
pesan itu tak ada satupun kalimat untuk meminta anak mereka menuliskan materi
bercerita di depan kelas. Aku mengatakan “Tolong jelaskan pada ananda...”. Aku
pikir mereka dengan jelas memahami bahwa anak mereka belum menguasai penuh
baca-tulis, jadi tak perlu memaksa mereka menuliskan apapun di buku mereka
untuk diceritakan di Hari Senin ini.
Aku hanya mau mereka memiliki waktu berinteraksi yang
berhubungan dengan sekolah anak mereka. Quality Time, itu yang ingin aku
maksudkan untuk mereka miliki. Tapi, aku akhirnya menyadari bahwa mereka
bukanlah orang-orang tua yang mengerti seperti apa itu quality time. Di
benak mereka mungkin hanya seputar “yang penting anakku sekolah dan pintar”,
“aku harus punya uang untuk menyekolahkan anakku”, “mereka sudah sekolah, pasti
akan pintar”, “anakku sekolah, aku mencari uang”. Mungkin itulah yang mereka
pikirkan. Entahlah. Itu asumsiku saja. Bisa jadi benar, bisa jadi keliru. Atau
mungkin bahasaku yang masih ketinggian dalam PR itu, meski aku sudah merasa
cukup menyederhanakan.
“Salma! Ayo! Aih, aih, aih. Bodo’ kamu.”
Allaaaahhh... kalimat itu lagi. Aku saja yang
mendengarnya begitu sakit hati, apalagi Salma. Siapapun tak mau dikatai bodoh. Ah,
mungkin dia bukan lagi tersinggung, tapi merasa sangat takut. Ia mengenal
bagaimana ibunya memperlakukannya. Dengan lidahnya yang tajam juga telapak
tangan penuh duri. Aku memejamkan mata sejenak.
“Ayo, Kakak Salma. Gak pa-pa, Sayang.”
“SALMA!!!” Suara jahat itu lagi. Kali ini lebih
kencang. “Aih, aih, bodo’ kamu Salma.”
“Bulan Ramadhan... a...da...lah. adalah. ...” ia membuka
lipatan kertasnya dan berusaha membaca tulisannya sendiri di selembar kertas
yang sudah mulai koyak. Teman-temannya mulai bercerita sendiri-sendiri, tak
lagi pedulikan Salma. Sedangkan aku... Aku tak tahan melihatnya.
“Kakak Salma, gak usah dibaca, Pintar. Ayo, Kakak cukup
ceritain aja semua yang Kakak ingat waktu di rumah mama cerita apa aja sama
Kakak Salma. Kertasnya disimpan saja, Sayang. Sini kertasnya...”
Ia masih ragu-ragu. Dia memandangiku bergantian dengan
ibunya.
“Ayo, Kak. Jangan takut. Ceritain aja, kertasnya gak
usah dibaca. Seperti biasanya aja. Kakak Salma sering kan kalo datang ke
sekolah, baru aja masuk kelas sudah cerita macam-macam yang terjadi di rumah
atau di jalan. Kayak gitu aja.” Aku berusaha membuatnya mengingat bagaimana
dirinya seperti biasanya.
Akhirnya, dia memberikanku kertas yang digenggamnya.
Dan mulai berbicara.
Asli, ini drama banget menurutku. Semacam sinetron
pergulatan emak tiri yang jahat dan tetangga baik hati untuk memenangkan hati
seorang anak yang hatinya penuh luka.
Dia bercerita. Tapi, melupakan banyak hal yang mungkin
ibunya sudah melatihnya dengan keras seolah dia akan tampil di depan Presiden. Dan
sisa-sisa kalimat yang ia lupakan itu bisa dia keluarkan dan utarakan setelah
dia duduk kembali di dekatku.
“Bulan Ramadhan itu gak boleh makan dan minum. Makan
roti, makan kue, makan nasi, minum air, minum es, ...”
Aku tertawa. Apa yang ingin dia sampaikan ternyata
selucu itu. Masih panjang yang dia bilang untuk urusan tidak boleh makan dan
minum. Dia menyebutkan segala macam makanan dan minuman, tapi aku tak ingat apa
saja. Aku yakin, jika tadi dia segampang itu mengutarakan di depan
teman-temannya, kelas kami takkan menjadi horor. Malah penuh tawa karena semestinya
“pementasan” pagi ini diakhiri dengan lawakan ala Salma---dan mungkin ibunya.
Aku sepertinya mulai mengerti watak seorang ibu seperti
ibunya Salma. Ia tak mau melihat anaknya seolah tak bisa apa-apa. Ekspektasinya
terlampau tinggi bahkan untuk Salma yang belum lancar membaca. Itulah yang
membuat ia hari ini menekan Salma dengan kalimat ancaman. Berdasarkan
pengamatan dangkalku, ia adalah tipe ibu yang terlalu memaksakan kehendak.
Berteriak, memaki, dan mengancam adalah senjatanya. Jika Salma tak peduli, dia
mulai main kasar. Persis ibu tiri jahat. Jika teman-temannya berlaku tak baik
pada Salma, ia tak segan pula memaki anak itu. Begitu pula jika Salma menjaili
temannya, tak akan lama ia segera mendapat makian dan ancaman pula. Untuk hal
ini, ibunya cukup adil. Hanya saja, itu terlalu keterlaluan di kaca mataku.
Mereka masih anak-anak. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja punya kebebasan
untuk memiliki rasa tidak senang pada orang lain, apalagi anak-anak yang baru
belajar bagaimana menjadi “kawan” yang disenangi dan “kawan” yang dimusuhi.
Harus kuakui pula, aku juga sering merasa kesal pada tingkah
dan sikap Salma yang hiperaktif dan susah diatur, buatku yang masih newbie
dalam dunia per-PAUD-an ini. Lagi-lagi aku berasumsi bahwa itu tak lepas dari
pengaruh lingkungannya selain memang pembawaan golongan darahnya, mungkin. Dia
terbiasa terkekang di dalam rumah, jadi ketika di sekolah dia mungkin merasa
memiliki sedikit ruang untuk mengekspresikan betapa dirinya juga haus perhatian
dan kasih sayang. Aku tak bilang ibunya tak sayang padanya, hanya saja
perlakuannya yang cenderung ekstrim tak patut untuk diterima Salma. Untuk itu,
aku terus berusaha memaklumi dan mencari celah bagaimana agar Salma bisa mengontrol
dirinya.
“Kakak, ayo belajar menahan diri.”
Dia tak hanya sering menyakiti teman-temannya dengan
tingkahnya yang cenderung sembarangan itu, tapi dirinya juga sering terluka
sendiri. Jika sudah begitu, dia akan mengganggu waktu belajar. Adanya dirinya
di kelasku adalah cara terberat Allah menguji tingkat kesabaranku menghadapi
dunia anak-anak. Sungguh, aku ibarat seorang buta yang tiba-tiba disuruh
menyebrangi jembatan kayu kecil atau jalan raya penuh kendaraan melaju kencang.
Aku semestinya tak dibiarkan sendiri menemukan arti sabar itu. :”)
Inilah kejadian di Hari Senin di minggu kedua Bulan Mei
kami.
Kau harus tahu, Kawan. Sekalipun aku mengatakan ibunya
Salma seperti ibu tiri jahat, sesungguhnya aku tahu ia begitu menyayangi putri
sulungnya itu, “sekejam” apapun kita melihatnya. Ia hanyalah seorang ibu muda
yang mungkin belum memahami bahwa sikapnya yang terlampau keras itu bisa
mencederai psikis putri kebanggaannya. Ia hanya keliru mengambil jalan dan cara
mendidik yang baik dan layak menurut para psikolog. Mungkin dia juga tak
menyadari bagaimana perasaan banyak para ibu di berbagai belahan dunia yang memimpikan
bisa mengandung, menggendong, menyusui, menemani tumbuh dan kembang
putra-putrinya dengan belaian kasih sayang dan motivasi, bukan pukulan, celaan
dan makian.
Baiklah. Sebagai penutup, aku kutipkan quote
keren yang baik jadi renungan dari Adhitya Mulya dalam bukunya “Parent’s
Stories” – aku belum baca juga ini bukunya. Hehehe...;
“Kita ingin anak kita berdaya dalam menghadapi dan mengatasi
sendiri rintangan di zamannya. Mereka akan mampu melakukannya jika mereka
memiliki kita sebagai mentor. Bukan sebagai monster.”
Aih, kau tahu... meskipun aku sering berusaha
mempelajari dan memperbaiki sikapku agar bisa menjadi mentor dan teman bermain
yang baik bagi jiwa mereka, sebenarnya aku belum bisa lepas dari sifat
monsterku sendiri. Aku juga belum berhenti berkelahi dengan musuh terbesarku;
diriku sendiri.
Suka Damai,
GB-09 Mei 2017
Komentar
Posting Komentar