Tukang Iri

Aku iri.
Dia cantik, aku biasa saja.

Aku iri.
Dia cerdas, aku cuma rata-rata.

Aku iri.
Dia modis, aku ala kadarnya.

Aku iri.
Dia kaya, aku sederhana saja.

Aku iri.
Dia rezeki berlimpah, aku jajan saja susah.

Aku iri.
Dia mempesona, aku tidak juga.

Aku iri.
Dia nampak sholihah, aku masih begini saja.

Aku iri.
Dia percaya diri, aku sering malu-malu(in).

Aku iri.
Dia banyak kawan, aku sering sendirian.

Aku iri.
Dia selalu baik hati, aku malah sedang dengki.

Aku iri.
Dia berseri-seri mensyukuri hidup, aku jarang berterima kasih.

Tapi, aku belajar berhenti. Aku berusaha. Allah sudah adil membiarkan aku menyadari keirianku ini lantas berpikir; sementara aku sedang iri, aku yakin dia juga takkan lepas dari alpa. Dia tetap seorang hamba.

~~~~

Kawan, bisa jadi aku dan kau adalah "si aku". Gampang sekali merasa iri dan berkecil hati karena di mata kita yang cuma dua bulatan kecil ini, Allah menjadikan hidup "si dia" itu senantiasa lebih baik dan enak dari hidup kita. Padahal, jangankan behind the scene hidupnya, mata kecil kita ini bahkan tak mampu melihat punggung kita sendiri tanpa cermin. Ia mungkin bisa kita pakai melihat apa saja, tapi tidak selalu di satu kesempatan yang sama. Tidak juga selalu bisa kita tahu.

Lucunya, sesadar-sadarnya kita, sering pula kita tidak mengerti dengan diri bahkan perasaan kita sendiri. Jangan ribetkan hidup dengan bercermin di hidup orang lain jika hanya untuk mencari luka.

Percayalah, semua yang kita lihat saat ini tak melulu indah dan semenyenangkan dalam benak kita. Aku yakin, tak lama setelah menyadari hal "remeh" ini, hati kita terasa ringan dan hidup berasa benderang. ;-)

Suka Damai,
GB-28 September 2017

Komentar

Exister