Hilang

30 April. Penghujung bulan dan hari. Malam di tengah keramaian. Setelah begitu lama “nganggur” dari aktivitas sok sibuk di belakang “panggung”, 2 malam ini benar-benar something.

Tapi, yang mau kuceritakan kali ini bukan tentang kesibukanku di belakang panggung itu, tapi tentang aku yang tiba-tiba merasa bak model. Bolak-balik di depan panggung – iya, bukan di atas panggung, sebab hape-ku yang berharga itu lenyap dari genggaman atau kantongku. Menyadari hape yang sangat tak kekinian itu tak kutemukan di kantong rok maupun di tas kecilku, aku berusaha tenang lebih dulu karena diamanahi menjaga hadiah-hadiah lomba. Aku berharap ia sedang ada bersama kawanku yang membawaku ada di antara panitia lomba.

Nahas. Ia geleng-geleng setengah kaget.
“Ha? Gak ada kok sama aku. Tadi kan kamu pegang dan gak ada kasih aku lagi,” katanya sambil masih menggendong hadiah-hadiah.

“Iya yah. Hahaha. Trus, ada di mana yah? Di kantong dan tas gak ada juga, La. Hehehe.”

Aku mencoba tenang dengan tetap cengengesan. Jujur kuakui, saat itu memang belum muncul rasa khawatir berlebihan. Hanya mencoba berpikir di mana kira-kira aku kehilangannya. Aku menduga aku tak merasakan hilangnya karena tanganku saat itu memegang banyak benda. Ada botol minuman, tisu, juga hape sebelum hilang. Belum lagi, konsenku agak pecah karena di tengah keramaian, mataku tertuju pada panggung – sedang diisi dengan duo mbak-mbak mc kece yang kemudian disusul penyanyik cilik yang menggemaskan – juga hadiah-hadiah yang barusan datang untuk dijaga.

Mala, kawanku itu akhirnya mencoba menghubungi hape-ku yang hilang itu. Aktif. Beberapa kali dihubungi tetap aktif, tapi tak ada yang angkat. Saat itu aku berpikir mungkin saja ia masih tergeletak di suatu tempat, belum ada yang mengambilnya. Tapi, pada misscall ke sekian, ia menjadi panggilan teralihkan. Di situlah rasa khawatir mulai menyusup perlahan. Aku ingin kau percaya, perasaanku di titik itu masih di garis deg-degan, belum di tahap frustasi, merasa sangat kehilangan.

Entah, apa yang membuatku merasa tak ada yang perlu dikhawatirkan berlebihan. Bisa jadi itu disebabkan aku beberapa kali membaca tentang kefanaan hingga di frekuensi ke sekian kalinya aku bisa menerima bahwa memang sebenarnya aku tak punya apa-apa untuk dianggap memiliki. Semuanya pemberian. Termasuk hape-ku itu, aku juga tidak membelinya sendiri melainkan diberi oleh kakakku karena dia punya yang baru kala itu. Sekiranya, itulah yang 85% memenuhi percaya diriku. Meski demikian, aku tetap ingin menemukannya. Itu pemberian yang bisa dianggap cukup mempengaruhi gaya hidupku. Aku menemukan banyak hal tentang “siapa diriku” melaluinya.

Mala membiarkan hape-nya kupinjam untuk terus menghubungi hape-ku, meski sebenarnya hape-ku yang satunya bisa juga. Tak apa, jaga-jaga saja, pikirku. Aku tak lagi fokus menjaga hadiah-hadiah juga tak bisa menyaksikan semarak lomba fashion show bertemakan “Ayo Mengaji” yang sebenarnya sungguh menggemaskan karena pesertanya anak-anak usia dini. Aku melewatkan semua hal menyenangkan di malam itu – yang sebenarnya itu adalah alasan mengapa aku ingin terlibat sibuk di belakang panggung –, aku hanya sibuk bolak-balik di sekitaran panggung untuk terus-menerus misscall berharap ada suara orang baik hati yang menemukannya dan mau mengembalikannya padaku.

10 menit berlalu. Masih panggilan teralihkan. Aku akhirnya berinisiatif menelpon seorang kawan dekatku untuk mengabari bahwa hape-ku sedang hilang. Hanya dia yang ada dipikiranku untuk kuhubungi menceritakan gelisahku malam itu, barangkali ia sedang menunggu balasan chat dariku. Aku menyapanya dengan tenang karena aku tahu dia kagetan dan khawatiran.

“Mpit, hape-ku hilang. Hehehe... Coba kamu bantu hubungin yah. Siapa tau pas kamu yang hubungi nyambung dan ada yang angkat. Hehehe.” Aku masih cengengesan. Tapi, dia tidak. Keluarlah sifat cerewetnya.

“Ha?!! Hape yang mana, Kak. Kok bisa? Hilang di mana? Sudah dihubungi? Aktif gak?”

Aku senyum dulu mendengar suaranya yang penuh khawatir itu. Segala pertanyaan bisa dia ajukan dalam sekali-duakali nafas. Sangat bisa kubayangkan wajah cemasnya. Dia benar-benar tipe peduli. Emak-emak banget. Tapi, senyumku tak berlangsung lama. Dia sangat khawatir. Rasanya aku mulai menyesal mengabarinya malam itu. Dia di Samarinda dan aku di Bontang. 3 jam perjalanan jauhnya, tapi dia yang paling kuingat.

Setelah mengajukan berbagai pertanyaan yang rasanya seperti diintrogasi, dia mulai memberikan berbagai macam solusi yang separuhnya sudah kulakukan. Percakapan kami menjadi alot. Rasa khawatirnya yang berlebihan membuatku ikutan panik. Keringatku mulai membasahi wajah dan punggungku. Aku mulai melihat sekitar, berharap tak ada yang memperhatikanku bolak-balik dengan wajah tak sesenang orang-orang yang lalu lalang malam ini. Menyadari aku tengah berdiri di depan stand penjual pakaian membuatku tak enak padanya. Tapi, kulihat lagi bagaimana wajahnya. Syukurnya tampak biasa saja, seolah tak terganggu dengan keberadaanku yang sedari tadi jadi model tak diundang.

Suara Mpit di seberang telepon juga tak terlalu kedengaran karena panggung sedang semarak. Karena aku takut menjadi emosi pada Mpit, akhirnya aku menyudahi ngobrol dengannya. Aku masih harus menelepon ulang hape-ku. Sebelumnya, aku juga meminta agar Mpit terus menghubunginya lagi. Aku mengatur nafas lagi.

Di detik itu aku merasa telah melupakan sesuatu. Sementara aku mengadu pada Mpit, aku telah abai bahwa semestinya ada yang lebih berhak untuk aku hubungi. Pada Mpit yang berjarak 3 jam perjalanan aku lebih dulu ingat ketimbang pada Dia yang sedekat urat leherku. Aku beristighfar. Aku beristighfar. Aku beristighfar. Berkali-kali. Aku menyesal saat menyadari aku lupa pada-Nya. Padahal aku sudah menyadari aku tak punya apa-apa, tapi tak jua ingat siapa yang meminjamiku segalanya.

Aku berjalan perlahan menuju panggung. Aku senyum getir melihat bergantian langkah kakiku sendiri dan kerumunan orang. Lalu, mataku mencari Mala. Aku menemukannya sudah berpindah posisi, ada di sisi bersebrangan denganku. Aku tersenyum melihatnya. Dia yang membawaku ke sini, pikirku, dia sangat repot dan bersemangat. Membuatku ingat pada Icha. Dan mereka sama-sama “kecil” yang “besar”. Tubuhnya boleh saja mungil, tapi peran mereka sering mengambil porsi besar.

Tiba-tiba...
Hape kecilku berdering dan “bernyanyi”. Nomor hape-ku yang sedang hilang itu sedang bergerak jalan di layarnya. Mataku terbelalak. Degup jantungku berdetak lebih cepat. Aku tak salah lihat. Itu benar nomorku yang menghubungiku. Tanpa pikir panjang jempolku menekan tombol terima.

“Halo... Assalamu’alaikum. Halo...”

Tak ada suara jawaban. Pias. Mungkin karena jaringan, pikirku cepat. Aku telepon balik. Diangkat.

“Haloo... Assalamu’alaikum. Assalamu’alaiku...” aku tergesa-gesa. Tenangku berubah panik.

“Halo! Halo!” suara lelaki di seberang telepon.

“Iya, halo... Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Aku kegok mau bilang apa. Gagap seketika. Ini kali kedua hape-ku hilang, tapi ini pertama kalinya aku berhasil menghubungi orang yang mendapatkannya.

“Engg... anu. Eengg... maaf, ini dengan siapa yah? Dapat hape saya di mana?”

“Ini siapa?” tanyanya.

“Emm... aku, pemilik hapenya (yang Mas pegang). Maaf, Mas dapat di mana yah?” Aku belum lancar bicara.

“Oh, pemiliknya...” serasa ada air sejuk mengaliri dadaku mendengar nada bicara lelaki di seberang itu melunak. “Gini, Mbak lagi di mana ini?”

“Aku... di samping panggung ini. Ah, di dekat panggung. Sampingnya,” jawabku secepat mungkin. Aku takut teleponnya putus. Suaranya agak hilang-hilang karena kalah dengan suara sound system panggung. Aku semakin menekan telunjuk ke telingaku untuk meredamnya.

“Gini ya, Mbak. Mbak ke sini aja. Saya ada di Sekretariat panitia. Di ujung deretan pintu masuk koperasi. Tau kan?”

“Oh, iya-iya, Mas. Tau. Oke. Aku ke sana sekarang. Makasih banyak ya, Mas. Makasih banyak.” Aku masih tergesa-gesa seolah kebelet pipis.

Aku merasa beruntung sekali karena sebelum kehilangan hape, aku sempat melihat posisi Sekretariat panitia yang kini menjadi tujuanku. Seperti sudah diatur bahwa aku harus melihat tempat itu lebih dulu sebelum kehilangan sesuatu. Tubuhku panas dingin. Deg-degan yang hampir bahagia. Aku berjalan cepat membelah kerumunan seperti di film atau drama-drama. Aih, aku sepertinya korban film dan drama lagi. :D
Semakin dekat, mataku tertuju pada plang bertuliskan “Sekretariat Panitia”. Aku mencari kira-kira siapa yang menungguku. Di sana sedang duduk seorang pria dan tiga mbak-mbak cantik berhijab.

“Hmm... Permisi, Pak.”

“Iya, ada apa?”

“Hmm... Saya mau ambil hape,” aku masih ragu-ragu. Semoga orang di telepon tadi tidak bohong.

“Hape? Merk apa?”

“Samsung, Pak.”

“Tipenya?”

“Hmm... GT...,” aku lupa-lupa ingat. Entah, aku menerawang sambil menyebutkan tiga atau empat angka.

“Yang ini, bukan?” Bapak itu langsung memperlihatkan hape-ku yang sedang ia genggam.

“Ah, iya, Pak. Itu.” Aku menyodorkan kedua tanganku untuk menerimanya. “Alhamdulillaaaah.”

“Lain kali hati-hati, Dek. Jangan sampai hilang lagi.”

“Eh, iya, Pak. Kalo boleh tau, tadi dapat di mana ya, Pak?” Aku belum beranjak, meski sudah menggenggam erat-erat hape yang seolah sudah berhari-hari hilang.

“Tadi ada anggota (panitia atau polisi yang berjaga mungkin maksudnya) yang nemuin terus dibawa ke sini.”

“Oh, gitu. Makasih banyak kalo gitu, Pak. Mari...” Aku pamit dengan senyum semanis-manisnya.

Langkahku melambat. Mulai berpikir lagi.

“Bapak itu... Jangan-jangan yang tadi di telepon. Yang tadi kupanggil mas? Berarti aku salah manggil tadi yah?” Aku senyum-senyum sendiri yang sebenarnya sedang tertawa dalam hati. Aku sedang menuju panggung dan Mala. Dan berharap tak ada yang memperhatikan sikap anehku lagi. Hehehe...

Begitulah. Meski ceritanya panjang amat, aku hanya mau berbagi hikmah tentang kesalahanku itu. Meskipun kita ini makhluk pelupa, ada satu yang tak pantas untuk kita lupa. Dia yang sangat bisa membuatmu ingat dan melupakan banyak hal, termasuk mantan. *Ups!! #Justkid :D

Di atas motor dalam perjalanan pulang.
“La, tadi itu, setelah aku istighfar baru aktif lho nomorku. Padahal sebelumnya selalu panggilan teralihkan. Waktu kamu nelpon juga gitu kan?”

“Iya.”

“Itulah. Aku jadi mikir, ada dua kemungkinan. Pertama, jangan-jangan gara-gara aku lupa sama Allah, makanya yang awalnya (panggilannya) nyambung jadi teralihkan. Setelah aku istighfar, eh gak lama malah orangnya yang nelpon. Kedua, karena hapeku jelek, bukan hape mahal (baca: terlalu keren. :D), makanya gak ada yang mau ngambil. Gak jadi ilang deh. Hahaha...” Aku berkelakar. Kami tertawa.

“Ah, itu memang karena kamu lagi beruntung. Di tengah keramaian gitu biasanya hape hilang ya hilang, udah diambil orang. Biar hape yang biasa aja (senter).”

“Hehehe... iya sih. Betul juga. Berarti itu gara-gara aku istighfar. Allah mau aku ingat pada-Nya dulu baru dikembalikan. Berarti ini masih rejekiku, La. Hehehe...”

“Iya. Syukur aja yang dapat panitia. Coba bukan...”

“He em. Heee...”

Motor melaju. Kami hening. Malam sudah larut, tak terlalu banyak orang lalu lalang. Hanya deru motor Mala yang kedengaran. Aku hanyut dalam pikiranku sendiri. Dalam dua hari bersamanya aku begitu bahagia karena rasanya sudah terlalu lama tak “bekerja di belakang panggung”, meski di malam terakhir itu aku tak menikmati Expo-nya “hanya” gara-gara hape.

Meski hilangnya hanya berselang beberapa jam, itu menjadi pelajaran penting dan mahal bagiku karena kita tak pernah tahu di mana dan kapan Allah memberi kejutan hikmah dalam hidup kita. Tugas kita hanyalah memastikan indera kita tak sedang lumpuh ketika saat itu tiba. :’)

Suka Damai, 30 April 2017
Ditulis lengkap pada 08 Mei 2017

Komentar

Exister