Surabaya dan Jakarta
Terakhir kudengar
kabarnya 10 tahun silam. Dia akan ke Surabaya dan aku ke Jakarta. Tapi, “akan”kami
berdua berbeda. Dia sudah fix, sedangkan aku masih bimbang.
Kami baru
lulus SMP kala itu. Baru saja bersuka cita bersambut tangis haru nan bahagia
dengan kebaya pinjaman yang kebesaran. Tak ada kamera selfi yang bisa membuat
kami terlihat lebih manis dalam foto-foto kenangan. Aku sendiri bahkan tak
punya selembar pun fotoku dalam balutan kebaya pertama kalinya itu. Namun, aku
menyimpan foto dirinya. Selembar. Dia memberikannya bersamaan dengan
barang-barang miliknya yang tak mau dia bawa pulang ke kampung kelahirannya
sana. Buat kenang-kenangan, katanya. Kuterima semuanya. Sayangnya, aku tak
menyiapkan apa-apa untuk ia bawa sebagai kenangan.
Aku ingat
ada beberapa barang, termasuk dompet lipat.
“Dek, kamu
mau ini gak?”
“Apaan itu?”Dia
mengeluarkan benda-benda miliknya ke hadapanku. “Lho, kenapa gak dibawa aja
semuanya?”
“Berat-beratin
aja. Ambil yah. Sekalian buat kenang-kenangan.”
Memang tak
ada yang baru. Semuanya sudah pernah ia pakai, namun masih layak pakai. Seingatku,
aku senang-senang saja menerimanya.
Dompet darinya
itulah yang sering kubawa kemana-mana. Bahkan aku memakainya hingga kuliahku
yang molor setahun itu rampung juga. Dan aku membeli yang baru setelah kulihat
dompet darinya itu seperti meraung minta diistirahatkan dengan damai. Ia
menyerah menampung kertas – yang entah kenapa selalu kusimpan – dan segala
jenis kartu yang sejauh ini seringnya lebih banyak daripada wangi-wangi segar rupiah.
Jujur kuakui, meski dompet yang baru kubeli lebih kece, tapi sebenarnya aku belum
move on, lebih nyaman membawa-bawa dompet pemberiannya. Lebih simpel dan
manis, terlepas dari modelnya yang cukup tua alias jadul.
Barang-barang
pemberiannya yang lain beberapa juga masih ada, hanya saja tidak terlalu
kupakai.
“Dek, kamu beneran
ke Jakarta setelah lulus?”
“Belum tau
juga. Masih ngambang.”
Kala itu
memang aku belum mantap. Aku belum menerima tawaran abangku untuk menyusul Kak
Pato’ sekolah “asrama”. Belum ada di bayanganku hidup tanpa mama dan bapak,
jauh dari kakak-kakak dan adikku. Tiket pesawat juga belum terbeli. Sementara itu,
aku sudah memasukkan berkas pendaftaranku ke Smanda (SMAN 2) Bontang. Itu kata
abangku, buat jaga-jaga kalau ke Jakartanya batal. Diterima, alhamdulillah.
Tapi, tepat di hari semestinya aku mengambil seragam olah raga, di saat kebanyakan
temanku datang untuk siap-siap MOS, aku malah datang dengan hati seperti
terbelah dua. Separuh berat untuk cabut berkas, separuhnya lagi mantap untuk
pergi.
Tapi, lengan
kuat abangku yang menemaniku ke sekolah waktu itu merangkul bahuku, meneguhkan
pilihan yang sudah kubuat. Layaknya di film-film, sebentar aku menatap dengan
perasaan tak menentu sekolah yang tak jadi saksi masa putih abu-abuku itu,
tanpa pelukan perpisahan. Aku jadi pergi dan memang tak ada satu kawanpun yang
sempat kupamiti, termasuk dia. Entahlah, aku lupa. Bisa jadi saat itu dia
memang sudah pergi ke Surabaya.
Dan hari
ini, aku berkunjung untuk pertama kalinya ke SMP-ku. Ada perasaan bahagia
menggebu-gebu melihat lingkungan sekolah dan beberapa spot – termasuk kelas-kelas
lama – tak berubah, kecuali kursi dan mejanya yang sudah diganti. Seolah saja
itu sengaja dibiarkan agar masih ada yang membuat kenangan mengalir begitu saja
saat para alumni datang untuk sekadar berkunjung, seperti aku hari ini.
Aku tertawa-tawa
sendiri. Mala sibuk dengan hape-nya. Aku biarkan kakiku berlari-lari,
memasuki kelas-kelas lama yang tak jauh berbeda dari 10 tahun lalu. Hanya dekorasinya
yang lebih banyak dan lebih kreatif. Tentu saja anak-anak SMP sekarang jauh
lebih mampu mengeksplore potensi mereka ketimbang kami di masa SMP dulu. Aku juga
mengingat-ingat di mana dulu tempat dudukku juga teman-teman dulu,
ejekan-ejekan lucu di antara kami, tak ketinggalan gaya khas guru-guru. Sungguh,
aku seperti kembali ke masa SMP lagi. Hari ini excited banget buatku.
“La, perasaan
dulu [panggung depan kelas] ini agak tinggi. Kok sekarang gak yah? Apa karena
kita sudah besar? Hahaha.”
Aku dan Nirmala
Sari, kawanku itu tertawa. Hari ini aku jalan berdua dengannya. Pertama kalinya
juga setelah 10 tahun aku bepergian dengan teman SMPku, pun pertama kalinya
setelah lulus kuliah aku jalan-jalan di Bontang bukan dengan adik atau kakak
atau bapak. Meski hari ini tak sesuai dengan rencana awal, tapi hari ini aku
senang tak ketulungan. Sampai-sampai lupa bahwa aku terlampau cerewet untuk
pertemuan pertama dengan beberapa teman yang dulu waktu SMP bertegur sapa saja
hampir tak pernah. Singkatnya, hampir tak ada kenangan buruk yang bisa kuingat
hari ini. Hanya yang manis-manis saja lagi lucu.
Kembali ke
dia.
Sebab aku
mencoba keras mengenang sebanyak apapun yang bisa kuingat tentang masa-masa
itu, aku mengingat dirinya sebagai salah satu bagian terbaik dari masa
remajaku. Dia kukenal sejak kelas 5 SD. Dia sangat ramah padaku yang kala itu
datang sebagai anak baru. Aku pindah ke sekolahnya. Dia juga yang mengenalkanku
pada teman-temannya yang baik hati sepertinya. Kami berteman sangat akrab
hingga memutuskan melanjutkan ke SMP yang sama; SMPN 3 Bontang.
Aku menghitungnya
lagi. Memang lebih kurang sudah 10 tahun lamanya. Begitu tak terasa tahun-tahun
berganti. Tak pernah sekalipun kabar tentangnya mampir ke telingaku. Dia sudah
menikah dan punya anak lima, misalnya, atau dia sekarang bekerja sebagai apa,
tak pernah kutahu. Sama sekali tak ada beritanya. Aku bertanya pada teman-teman
SMP lainnya, mereka juga tak tahu. Malah punya rasa penasaran yang kurang lebih
sama pula denganku. Kami lost contact sama sekali. Aku bahkan pernah
mencari namanya melalui medsos secara random. Tak ada petunjuk juga. Medsos pun
tak mampu mendeteksi keberadaannya. Bisa jadi dia sama denganku, tidak
menggunakan nama asli. Itu sebabnya, peluang kami menemukan dan ditemukan sangat
sedikit. Sempat pula terpikir untuk mengganti nama akunku dengan nama asli,
dengan harapan ia juga sedang mencariku juga teman-teman SMPnya, tapi sampai
detik ini juga belum mantap kuganti. Entahlah, aku hanya tak nyaman melihat
namaku terpajang jelas di akun medsos manapun yang kumiliki. Akhirnya, kami tak
jua terkoneksi hingga sekarang. Dia semakin tak ada bekasnya.
Itulah dia. Sandra
Octavia. Perempuan Jawa yang selalu kupanggil Mbak sedari awal berkenalan. Sepertinya,
ia pula yang mengenalkanku dengan panggilan “Dek Nur” ke semua teman-temannya
hingga kami menjadi anak SMP itu tak berubah. Mulai saat itu aku selalu
dipanggil Dek Nur. Panggilan yang jika kudengar sekarang begitu geli, mengingat
itu panggilan 10 tahun lalu dan aku sudah terlalu sering dipanggil “Kak”
ketimbang “Dek”.
*******
Mbak Sandra...
Aku masih
mencarimu, Mbak. Dengan rindu dan penasaran yang sama. Hari ini aku mengenang
cukup banyak – semampuku – tentang kita dan teman-teman.
Tentang Pramuka
yang sempat membuatku dan Elvira dihujani sengatan lebah pada jelajah
perkemahan Sabtu-Minggu di sekolah dulu, lalu aku berakhir di rumah sakit untuk
menerima suntikan di pantatku. Kau tahu, aku sangat mengagumimu ketika kau
mengenakan seragam coklat-coklatmu itu, sangat kece.
Tentang gado-gado
Surabaya buatan ibumu yang selalu mengundang lapar.
Tentang tawamu
yang selalu menyenangkan kudengar.
Tentang saat
kau menegur Edo jika ia tertawa terlampau keras, tak peduli ada kita-kita di
sebelahnya. Sampai sekarang Edo masih begitu, Mbak. Kata Indri, saat ia
berbicara pun masih sama kerasnya. Suaranya mampu terdengar hingga ke kamar di rumahnya.
Hehehe
Tentang sesi
curhat-curhat kita di bawah pohon rindang depan rumah yang sekaligus warung ibumu.
Tentang kita
mengerjakan PR bersama – yang jika tak kunjung selesai-selesai, kita mencari
pertolongan pertama ke Mala a.k.a Nirmala Sari. Apalagi Matematika, dia memang
ratunya. Sampai sekarang, teman-teman masih ingat betapa jagonya dia dalam
menaklukkan angka-angka.
Tentang jajan
pentol gorengnya Paklek kumis yang sering kita “rayu” agar dapat tambahan – aku
tertawa mengingat yang ini. Mbak tahu tak, kata Mala pakleknya masih berjualan
di sekolah kita dulu lho, meski mungkin tak seramai jaman kita dulu.
Tentang nongkrong
sepulang sekolah. Momen di mana dengan antusias kau menceritakan ulang
adegan-adegan drama Korea atau Cina yang saat itu booming. Aku ingat, saat itu
aku lebih sering mendengarkanmu karena entah apa sebabnya aku tak menontonnya. Dan
aku tak menjadi anak gaul kekinian karenanya. Hehehe. Aku ingat salah duanya,
Full House dan Princess Hours. Yang pertama sudah kutonton, Mbak – jika Mbak
mengajakku untuk membahasnya ulang saat ini, aku cukup siap menanggapimu. :D,
tapi untuk yang kedua belum, Mbak. Aku lupa karena tenggelam asyik dengan
drama-drama terbaru dari teman-teman kuliahku. Hihi...
Mbak Sandra...
Dengan keterbatasan
ingatanku ini, aku masih dalam bahagia yang sama ketika bersamamu atau hanya
bisa mengingatmu seperti sekarang ini. Aku beneran ingin tahu bagaimana
kabarmu. Jika lewat depan rumahmu yang dulu, kenangannya selalu hadir. Masih bisa
kuingat warung ibumu dengan bengkel ketok magic di sebelah kanannya dan
bangunan lama seperti kantor – entahlah apa, aku tak tahu persis – yang punya
halaman cukup luas dan anjing yang rajin menggonggong di sebelah kirinya.
Sekarang sudah
banyak berubah. Tak ada lagi tanah kosong itu dan pohon mangga besar di
belakang yang jika berbuah bisa kita minta untuk pencokan. Sekarang, ia berubah
menjadi kantor-kantor yang lebih besar. Hanya bekas warung ibumu yang masih
ada, namun semakin kecil dan sempit. Entah, ada yang jualan atau tidak di sana.
Ingin sesekali aku singgah di sana sambil berharap siapapun yang menempatinya
tahu tentangmu atau ada hubungan keluarga denganmu, namun sayangnya itu juga
belum terlaksana.
Mbak... Hari
ini aku sudah bertemu Mala dan Indri. Semestinya menurut rencana aku juga bisa
bertemu dengan Harpida, Suci, juga Edo. Tapi, ternyata gagal. Pida sakit perut,
Suci ke Muara Badak, dan Edo pergi ibadah sekolah minggu. Indri sudah menikah,
tapi belum ada tawa dan tangis bocah di rumahnya. Pida juga sudah dan alhamdulillah
si kecilnya sedang lucu-lucunya – belum ketemu langsung sih, hanya lihat di
medsos saja. Sedangkan aku, Mala dan Edo moga saja segera menyusul. Doakan ya,
Mbak. :D
Nah,
bagaimana denganmu, Mbak?
Aku berdoa
semoga hidupmu berlimpah berkah dan bahagia, bagaimanapun jalan hidup yang kau
tempuh. Semoga Allah izinkan kita bertemu kembali, entah apa aku yang
ditakdirkan ke sana atau Mbak yang kembali ke sini atau malah kita bertemu di
tengah-tengah. Di manapun itu nanti, semoga dalam keadaan yang jauh lebih baik
lagi berlimpah rasa senang. InsyaAllah, insyaAllah... J
Dengan segenap
rindu,
--- Adek Nur
Suka Damai,
GB-09 April
2017
Komentar
Posting Komentar