Menertawakan Kesedihan

Agenda belum berakhir, tapi sudah cukup malam. Kami sepakat untuk pulang saja.

"Pulang yuk."
"Iya. Ayok."
"Kamu jadi pulang ke mana ini?"

Ah iya. Aku sebenarnya tak benar-benar pulang karena sekalipun ia disebut rumah, ia tak pernah menjadi tempat kembali yang kusuka. Meski besarnya berkali-kali lipat dibanding rumah kayu kami yang sederhana.

"Rumah sakit."
Aku nyengir pada kawanku. Getir.

Sepanjang jalan dan sejangkau sinar lampu motorku, aku menyadari ini kali pertama aku punya agenda malam dan harus pulang ke sebuah rumah yang sebenarnya kuanggap seperti kulkas besar. Dingin menyeruak di mana-mana, apalagi saat subuh datang. MasyaAllah, ingin jadi peri seperti di kartun-kartun saja rasanya, yang bisa melayang dan abrakadabra. Aku benci lantai dan airnya.

Memikirkannya membuatku tersenyum hampir tertawa di balik masker.

Selain tentang rumah, aku juga berpikir tentang motor. Dulu aku sering mengkhayal bagaimana rasanya mengendarai motor sendiri, menikmatinya sendiri, memutuskan banyak hal sendiri---entah itu reting kanan atau kiri, menghindari lubang atau melaluinya perlahan, bahkan stop atau tidak di suatu tempat. Sekarang, aku sudah cukup lancar bolak-balik. Hehehe. Alhamdulillah.

Jalan hidup memang senantiasa misteri. Ketika merenung, aku kerap menertawakan hal-hal kecil yang sebenarnya mungkin aneh untuk ditertawakan. Dulu aku melatihnya dengan sebatas senyum. Sekarang naik tingkat sedikit, bisa tertawa. Tentu saja tawa berbalut getir jika itu tentang kesedihan. Belum bisa benar-benar tertawa seperti saat aku dapat traktiran, misalnya. Aku sadar penuh, hanya manusia biasa. Kalau bisa tertawa bahagia, jangan-jangan gila. :-D

Lalu, kenapa repot belajar tertawa sih? Jika sedih, ya sedih aja. Nangis aja. Manusiawi kok.

Bukan apa. Buatku itu semacam menghibur diri sendiri kala hatiku terasa mentok untuk bersedih sambil menangis. Sejauh ini itu cukup menguatkan. Kita tak bisa memaksa keadaan selalu menyediakan kawan berbagi yang selalu berusaha memahami. Aku tetap masihlah perempuan cengeng yang gampang menangis seperti dulu. Tapi, anggap saja tertawa adalah obat lain ketika merasa betapa kita ini hanyalah sebuah wayang dalam pertunjukan tiada akhir di semesta ini, kecuali saat lengkingan "sirine" Israfil menggema. Istilah kata Bang Ochan: merayakan kesedihan. Itu unik. :-)

Tapi, malam itu di satu belokan jalan raya aku tak lagi menahannya, aku tertawa. Karena sempat-sempatnya memikirkan itu semua di atas motor yang sedang melaju sedang. Sesimpel itu aku sudah bisa tertawa, kalau kau mau tahu. Hingga suara tawaku kutelan perlahan karena motorku telah memasuki gerbang rumah sakit, kulkas super besar. :-)

Bontang,
GB-19 Agustus 2017

Komentar

Exister