Jadi Bantal


Selain kakakku, pernah seseorang numpang tidur di bahuku, di dalam bis yang membawaku ke Samarinda. Tak saling kenal, tiba-tiba saja aku jadi bantalnya.

"Boleh aku duduk di sini?" awal saat aku baru naik, seramah mungkin agar dibolehkan. Hehe
"Silakan." Dia tersenyum balik.

Tak ada percakapan apapun setelahnya. Sibuk diam masing-masing sepanjang perjalanan. Headset mengamankan diriku dari kebosanan dan kepengapan. Aku menutup mata mencoba tidur, perjalanan masih jauh.

Tiba-tiba.. mataku melotot karena sesuatu membebani bahuku. Aku menoleh dan jadi bingung sendiri. Dia terlelap dan aku semakin melorot dibuatnya.


Aku heran, mungkin dia tak tidur semalaman. Jalanan berliku dan tak mulus seolah semakin meninabobokannya. Aku menoleh lagi dan mencoba menatapnya, dia benar-benar pulas. Aku pasrah akhirnya.

Sebisa mungkin aku tidur dan memastikan aku tak jatuh karena posisi tak begitu nyaman. Tapi, tentu saja tak bisa. Rambut panjangnya mengganggu wajahku dan kepalanya menghalangi gerak leherku.

"Allah, bangunkan dia. Apapun caranya," munkin itu termasuk doa orang terzholimi. Hehe.. Tiba-tiba guncangan yang lumayan keras membuatnya bergerak, dia bangun. Entah mengapa aku pura-pura tertidur. Bodohnya.. Aku pun merutuki diri sendiri. Dalam hati.

Selang beberapa menit setelah nyaman dengan posisiku, kepalanya mungkin memang berat sebelah dan memang nasib itu ke arahku. Ampuuun... Aku melengos dalam hati, mestinya tadi aku tak pura-pura tidur dan mengatakan padanya bahwa dia tadi menumpang aku jadi bantal.

Dudukku benar-benar melorot, semakin tak nyaman. Kakiku keram. Mulai kesal, akhirnya aku beranikan diri bergerak dan mencoba membangunkannya. Alhasil, nihil. Dia memang bergerak, tapi semakin membebaniku. Allaaaah..

Aku menoleh padanya sekali lagi, menatap wajah pulasnya yang seolah tak berdosa itu. Aku mencoba mengingat-ingat kalimat apa yang diucapkan pemeran dalam sinetron picisan --yang sudah lama tak kutengok itu--ketika posisinya kurang lebih sama denganku saat itu. Buntu. Lenyap. Entah ke mana terbangnya kalimat-kalimat itu.

Tak terasa, bis sudah masuk wilayah Samarinda, beberapa meter lagi tiba di terminal. "Allah, bangunkan dia sekali lagi. Udah mau nyampe ini." Entah, doa-doa konyol itu kusempatkan juga.

Baru saja aku memberanikan diri membangunkannya dengan menyentuh pundaknya (atau kepalanya? Lupa aku).

"Mbak, mbak, mbak, kita sudah dekat." lumayan pelan karena takut dia kaget.
Dan ternyata dengan gampangnya dia bangun dan merapikan rambutnya. Aku semakin merutuki diri. Mengapa tidak dari awal aku melakukannya??

Tanpa kata apapun dia berdiri, aku mempersilakannya karena aku belum mengambil tas. Dan dia ngeloyor begitu saja. Aku melongo. Appaaahh?? (lensa kameranya langsung dizoom) Aku tak percaya menyadari diriku seperti orang bodoh. Jangan-jangan memang iya! T__T

Bete, sebete-betenya!! Aku menggandeng ranselku yang terasa semakin berat. Hatiku, hatiku sebenarnya yang membuatnya demikian.

Ingin sekali aku mengejarnya dan bilang, "Mbak, gak ada yang mau mbak bilang padaku? Semacam terima kasih, gtu? Tadi, selama dalam bis, Mbak tidur di bahuku. Bla.. bla.. bla.."
Tapi, tidak. Tentu saja takkan terjadi. Toh, untuk apa, pikirku. Aku sudah merasa terganggu dari awal, yang bisa jadi Allah menilai tak ada keikhlasan untuknya. Lalu, meminta terima kasih darinya pun tak pantas. Cukup aku jadikan pelajaran, malah mungkin aku yang semestinya berterimakasih karena dialah perantara aku belajar. Belajar untuk tak semena-mena pada orang lain, untuk semakin mengendalikan diri, untuk belajar berterimakasih atas kebaikan orang lain bahkan ketika dia tak memintanya karena bisa jadi dia telah rela kita susahkan.

Aaah, aku menulis ini karena besok berencana menaiki bis lagi untuk pulang, memenuhi panggilan kesepian Mama dan Bapak.
Berharap tak ada mbak-mbak atau mas-mas atau om-om yang membuatku bakal menuliskan kisah -tak menyenangkan-mereka lagi...
Sekali lagi, terima kasih untuk mbak berambut panjang yang tertidur pulas di pundakku, di manapun kau berada. Semoga tak ada 'korban' lagi...

GB-13 Juli 2015
Jelang esok...

Komentar

Exister